BAB I
PENDAHULUAN
Bimbingan dan konseling pada awalnya diperkenalkan pada era 70-an yang secara simultan dan berkembang menjadi integral dengan program pendidikan di sekolah. Dalam pelaksanaan, tenaga pelaksanaan program bimbingan ini berdasarkan SK Mendikbud disebut guru pembimbing yang memiliki hak dan tanggung jawab dalam menyusun dan melaksanakan program bimbingan dan konseling.
Sebagai bagian dari suatu sistem, guru pembimbing (BK) dalam bekerja membutuhkan kerja sama dengan komponen lainnya seperti peran segenap guru dan kepala sekolah, baik dalam aspek akademik maupun administrasi yang berjalan secara kondusif dan harmonis. Hal ini tentunya dimaksudkan demi pencapaian maksud dan tujuan BK yang efektif dan efisien.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dan konseling berasal dari dua kata, yaitu bimbingan dan konseling. Pengertian bimbingan yang dikemukakan oleh para ahli memberikan pengertian yang saling melengkapi satu sama lain.[1] Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli:
1. Pengertian Bimbingan
Menurut Chiskolm “Bimbingan membantu individu untuk lebih mengenali berbagai informasi tentang dirinya sendiri. Pengertian ini menitikberatkan pada pemahaman terhadap potensi diri yang dimiliki.
Menurut Bernard dan fullmer, 1969 “Bimbingan merupakan kegiatan yang bertujuan meningkatkan realisasi pribadi setiap individu. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa bimbingan membantu individu untuk mengaktualisasikan diri dengan lingkungannya.
Menurut Mathewson, 1969 “Bimbingan merupakan pendidikan dan pengembangan yang menekankan proses belajar yang sistematik. Pengertian ini menekankan bimbingan sebagai bentuk pendidikan dan pengembangan diri, tujuan yang diinginkan diperoleh melalui proses belajar.
Dalam peraturan pemerintah No. 29 tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah dikemukakan bahwa “Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan.”
Berdasarkan pengertian diatas, dapat dipahami bahwa bimbingan pada prinsipnya adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu dalam hal memahami diri sendiri, menghubungkan pemahaman tentang dirinya sendiri dengan lingkungan, memilih, menentukan, dan menyusun rencana sesuai dengan konsep dirinya dan tuntutan lingkungan berdasarkan norma-norma yang berlaku.
2. Pengertian Konseling
Menurut Prayitno dan Erman Amti (2004: 105) konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (konselor) kepada individu yang sedang mengalami masalah (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien. Sejalan dengan itu, Winkel (2005: 34) mendefinisikan konseling sebagai serangkaian kegiatan paling pokok dari bimbingan dalam usaha membantu klien secara tatap muka dengan tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau masalah khusus.[2]
Dari beberapa pengertian diatas bimbingan dan konseling yang dikemukakan oleh para ahli, dapat dinyatakan bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu proses pemberian bantuan kepada individu secara berkelanjutan dan sistematis, yang dilakukan oleh seorang ahli yang telah mendapat latihan khusus untuk itu, dengan tujuan agar individu dapat memahami dirinya, lingkunganya, serta dapat mengarahkan diri dan menyesuaikan diri dengan lingkungan untuk mengembangkan potensi dirinya secara optimal untuk kesejahteraan dirinya dan masyarakat.
B. Peranan Guru dalam Bimbingan Konseling
Sardiman (2001:142) menyatakan bahwa ada sembilan peran guru dalam kegiatan bimbingan konseling yaitu:
1. Informator, guru diharapkan sebagai pelaksana cara mengajar informatif, laboratorium, studi lapangan, dan sumber informasi kegiatan akademik maupun umum.
2. Organisator, guru sebagai pengelola kegiatan akademik, silabus, jadwal pelajaran dan lain-lain.
3. Motivator, guru harus mampu merangsang dan memberikan dorongan serta reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas) sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar-mengajar.
4. Director, guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.
5. Inisiator, guru sebagai pencetus ide dalam proses belajar-mengajar.
6. Transmitter, guru bertindak selaku penyebar kebijaksanaan dalam pendidikan dan pengetahuan.
7. Fasilitator, guru akan memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses belajar-mengajar.
8. Mediator, guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa.
9. Evaluator, guru mempunyai otoritas untuk menilai prestasi anak didik dalam bidang akademik maupun tingkah laku sosialnya, sehingga dapat menentukan bagaimana anak didiknya berhasil atau tidak.
Sedangkan dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip pemikiran Gage dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup :
1. Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).
2. Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems).
3. Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.
C. Peranan Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan di Sekolah
Bila tujuan pendidikan pada akhirnya adalah pembentukan manusia yang utuh, maka proses pendidikan harus dapat membantu siswa mencapai kematangan emosional dan sosial, sebagai individu dan masyarakat selain mengembangkan kemampuan inteleknya. Dalam kelangsungan perkembangan dan pertumbuhan anak didik, berbagai pelayanan di selenggarakan. Masing-masing pelayanan itu memiliki peran yang sangat berguna dan bermanfaat untuk memperlancar dan memberikan kesan positive dalam proses perkembangan anak didik, khususnya dalam bidang tertentu yang menjadi fokus pelayanan yang dimaksud. Sebagai contoh peran guru dalam pelayanan pendidikan adalah mengajar, mendidik dan membimbing para siswa untuk memperoleh ilmu yang bermanfat dan dapat menggapai cita-cita yang di inginkan.
Koestoer Partowisastro (1982) mengemukakan bahwa, ada dua faktor yang mendukung adanya bimbingan konseling di sekolah:
1. Sekolah merupakan lingkungan hidup kedua sesudah rumah, di mana anak dalam waktu sekian kurang lebih 6 jam hidupnya berada di sekolah.
2. Para siswa yang usianya relatif masih muda sangat membutuhkan bimbingan baik dalam memahami keadaan dirinya, mengarahkan dirinya, maupun dalam mengatasi berbagai kesulitan.[3]
Kehadiran konselor di sekolah dapat meringankan tugas guru (Lundquist dan Chamely yang dikutip oleh Belkin, 1981). Mereka menyatakan bahwa konselor ternyata sangat membantu guru, dalam hal:
1. Mengembangkan dan memperluas pandangan guru tentang masalah afektif yang mempunyai kaitan erat dengan profesinya sebagai guru
2. Mengembangkan wawasan guru bahwa keadaan emosionalnya akan mempengaruhi proses belajar mengajar
3. Mengembangkan sikap yang lebih positif agar proses belajar siswa lebih efektif
4. Mengatasi masalah-masalah yang ditemui guru dalam melaksanakan tugasnya
D. Tujuan Bimbingan di Sekolah
Dalam kurikulum SMA tahun 1975 Buku IIIC dinyatakan bahwa tujuan bimbingan di sekolah adalah membantu siswa:
1. Mengatasi kesulitan dalam belajarnya, sehingga memperoleh prestasi belajar yang tinggi.
2. Mengatasi terjadinya kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik yang dilakukannya pada saat proses belajar mengajar berlangsung dan hubungan sosial.
3. Mengatasi kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan kesehatan jasmani.
4. Mengatasi kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan kelanjutan studi.
5. Mengatasi kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan perencanaan dan pemilihan jenis pekerjaan setelah mereka tamat.
6. Mengatasi kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan masalah sosial-emosional di sekolah yang bersumber dari sikap murid yang bersangkutan terhadap dirinya sendiri, lingkungan sekolah, keluarga, dan lingkungan yang lebih luas.
Secara umum dapat dikemukakan bahwa tujuan layanan bimbingan adalah membantu mengatasi berbagai macam kesulitan yang dihadapi siswa sehingga terjadi proses belajar mengajar yang efektif dan efisien.[4]
E. Peranan Bimbingan dan Konseling dalam Pembelajaran Siswa
Dalam proses pembelajaran siswa, setiap guru mempunyai keinginan agar semua siswanya dapat memperoleh hasil belajar yang baik dan memuaskan. Harapan tersebut sering kali kandas dan tidak bisa terwujud, sering mengalami berbagai macam kesulitan dalam belajar. Maka dalam hal ini Abu Ahamadi (1977) mengemukakan gejala yang dialami oleh siswa dalam kesulitan belajar:
1. Hasil belajarnya rendah, di bawah rata-rata kelas.
2. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang dilakukannya.
3. Menunjukkan sikap yang kurang wajar : suka menentang, dusta, tidak mau menyelesaikan tugas-tugas, dan sebagainya.
4. Menunjukkan tingkah laku yang berlainan, seperti suka bolos, suka mengganggu dan sebagainya.[5]
Siswa yang mengalami kesulitan belajar kadang-kadang ada yang mengerti bahwa dia mempunyai masalah tetapi tidak tahu bagaimana mengatasinya, dan ada juga yang tidak mengerti kepada siapa ia harus meminta bantuan dalam menyelesaikan masalahnya. Apabila masalah itu belum teratasi, mereka mungkin tidak dapat belajar dengan baik, karena konsentrasinya akan terganggu. Maka bimbingan dan konseling dapat memeberikan layanan dalam:
1. Bimbingan Belajar
Bimbingan ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan kegiatan belajar baik di sekolah maupun di luar sekolah. Bimbingan ini antara lain meliputi:
a. Cara belajar, baik belajar secara kelompok ataupun individual
b. Cara bagaimana merencanakan waktu dan kegiatan belajar
c. Efisiensi dalam menggunakan buku-buku pelajaran
d. Cara mengatasi kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan mata pelajaran tertentu
e. Cara, proses, dan prosedur tentang mengikuti pelajaran
2. Bimbingan Sosial
Dalam proses belajar di kelas siswa juga harus mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan kelompok. Dalam kehidupan kelompok perlu adanya toleransi atau tenggang rasa, saling memberi dan saling menerima. Bimbingan sosial ini dimaksudkan untuk membantu siswa dalam memecahkan dan mengatasi kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan masalah sosial, sehingga terciptalah suasana belajar mengajar yang kondusif. Menurut Abu Ahmadi (1977) bimbingan sosial ini dimaksudkan untuk:
a. Memperoleh kelompok belajar dan bermain yang sesuai
b. Membantu memperoleh persahabatan yang sesuai
c. Membantu mendapatkan kelompok sosial untuk memecahkan masalah tertentu
3. Bimbingan dalam mengatasi masalah-masalah pribadi
Bimbingan ini dimaksudkan untuk membantu siswa dalam mengatasi masalah-masalah pribadi, yang dapat mengganggu kegiatan belajarnya. Siswa yang mempunyai masalah dan belum dapat diatasi akan cenderung terganggu konsentrasinya dalam belajarnya, dan akibatnya prestasi belajar yang dicapainya rendah. Dalam kurikulum SMA tahun 1975 tentang Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan dinyatakan ada beberapa masalah pribadi yang memerlukan bantuan konseling, yaitu masalah akibat konflik antara:
a. Perkembangan intelektual dan emosionalnya
b. Bakat dengan aspirasi lingkungannya
c. Kehendak siswa dengan orang tua atau lingkungannya
d. Kepentingan siswa dengan orang tua atau lingkungannya
e. Situasi sekolah dengan situasi lingkungan
f. Bakat dengan pendidikan yang kurang bermutu dengan kelemahan keengganan mengambil pilihan
Kemudian juga Downing (1968) mengemukakan bahwa layanan bimbingan di sekolah sangat bermanfaat, terutama dalam membantu:
a. Menciptakan suasana hubungan sosial yang menyenangkan.
b. Menstimulasi siswa agar mereka meningkatkan partisipasinya dalam kegiatan belajar mengajar.
c. Menciptakan atau mewujudkan pengalaman belajar yang lebih bermakna
d. Meningkatkan motivasi siswa.
e. Menciptakan dan menstimulasi tumbuhnya minat belajar.
F. Landasan Bimbingan dan Konseling
Pemberian layanan bimbingan dan konseling pada hakikatnya selalu didasarkan atas landasan-landasan utama, hal ini berupa keyakinan-keyakinan yang pada akhirnya dapat mewarnai seluruh kegiatan bimbingan dan konseling.[6] Menurut Winkel (1991) landasan-landasan itu adalah:
1. Bimbingan selalu memeperhatikan perkembangan siswa sebagai individu yang mandiri dan mempunyai potensi untuk berkembang.
2. Bimbingan berkisar pada dunia subjektif masing-masing individu.
3. Kegiatan bimbingan dilaksanakan atas dasar kesepakatan antara pembimbing dengan yang dibimbing.
4. Bimbingan berlandaskan pengakuan akan martabat dan keluhuran individu yang dibimbing sebagai manusia yang mempunyai hak-hak asasi.
5. Bimbingan adalah sesuatu yang bersifat ilmiah yang mengintegrasikan bidang-bidang ilmu yang berkaitan dengan pemberian bantuan psikologis.
6. Pelayanan ditujukan kepada semua siswa, tidak hanya untuk individu yang bermasalah saja.
7. Bimbingan merupakan suatu proses, yaitu berlangsung secara terus-menerus, berkesinambungan, berurutan dan mengikuti tahap-tahap perkembangan anak.
G. Asas-Asas Bimbingan dan Konseling
Asas adalah segala hal yang harus dipengaruhi dalam melaksanakan suatu kegiatan, agar kegiatan tersebut dapat terlaksana dengan baik serta mendapatkan hasil yang memuaskan.[7] Dalam kegiatan atau layanan bimbingan dan konseling menurut Prayitno (1982) ada beberapa asas yang perlu diperhatikan:
1. Asas Kerahasiaan
Asas yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan keterangan siswa yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui orang lain.
2. Asas Keterbukaan
Konselor harus berusaha untuk menciptakan suasana keterbukaan dalam membahas masalah yang dialami klien. Klien terbuka menyampaikan perasaan, pikiran, dan keinginannya yang diperkirakan sebagai sumber timbulnya permasalahan. Konselor juga terbuka dalam memberikan tanggapan terhadap hal-hal yang dikemukakan oleh klien.
3. Asas Kesukarelaan
Konselor harus mampu mencerminkan asas ini dalam menerima kehadiran klien.
4. Asas Kekinian
Asas yang menghendaki agar objek sasaran layanan bimbingan dan konseling, yakni permasalahan yang dihadapi siswa adalah dalam kondisi sekarang. Adapun kondisi masa lampau dan masa depan dilihat sebagai dampak dan memiliki keterkaitan dengan apa yang ada dan diperbuat siswa pada saat sekarang.
5. Asas Kegiatan
Konselor mampu memotivasi klien untuk melaksanakan semua saran yang telah disampaikannya, keberhasilan layanan bimbingan dan konseling tidaklah terwujud dengan sendirinya, tetapi harus diusahakan oleh klien itu sendiri.
6. Asas Kedinamisan
Arah layanan bimbingan dan konseling yaitu terwujudnya perubahan dalam diri klien, yaitu perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik. Maka konselor harus memberikan layanan seirama dengan perubahan-perubahan yang ada pada diri klien. Perubahan itu tidak hanya sekedar bersifat monoton, melainkan perubahan menuju pada suatu kemajuan.
7. Asas Keterpaduan
Berbagai layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis, dan terpadu. Dalam hal ini, kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak yang terkait dengan bimbingan dan konseling menjadi amat penting dan harus dilaksanakan sebaik-baiknya.
8. Asas Kenormatifan
Asas yang menghendaki agar seluruh layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada norma-norma, baik norma agama, hukum, peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku, serta kegiatan bimbingan dan konseling harus dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan norma-norma tersebut.
9. Asas Keahlian
Layanan konseling menuntut suatu keterampilan khusus, dalam hal ini para pelaksana layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling lainnya hendaknya merupakan tenaga yang benar-benar ahli dalam bimbingan dan konseling.
10. Asas Alih Tangan
Asas ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya pemberian layanan yang tidak tepat, maka bila ditemukan masalah-masalah klien di luar bidang keahlian konselor, maka konselor hendaknya segera mengalihtangankan kepada ahli lain.
11. Asas Tut Wuri Handayani
Setelah klien mendapatkan layanan, hendaknya klien merasakan bahwa layanan tersebut tidak hanya pada saat klien mengemukakan persoalannya, di luar layanan pun hendaknya makna bimbingan dan konseling tetap dapat dirasakan, sehingga tercipta hubungan yang harmonis antara konselor dan klien.
H. Kode Etik Bimbingan dan Konseling
Wino Walgito (1980) mengemukakan beberapa butir rumusan kode etik bimbingan dan konseling sebagai berikut:
1. Pembimbing harus memegang teguh prinsip-prinsip bimbingan dan konseling.
2. Pembimbing harus berusaha semaksimal mungkin untuk dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya.
3. Karena pekerjaan pembimbing langsung berkaitan dengan kehidupan pribadi orang maka seorang pembimbing harus:
a. Dapat menyimpan rahasia klien dengan baik.
b. Menunjukkan sikap hormat kepada klien.
c. Menunjukkan penghargaan yang sama kepada bermacam-macam klien.
d. Pembimbing tidak diperkenankan:
1) Menggunakan tenaga-tenaga pembantu yang tidak ahli atau tidak terlatih.
2) Menggunakan alat-alat yang kurang dipertanggung jawabkan.
3) Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin menimbulkan hal-hal yang tidak baik bagi klien.
4) Mengalihkan klien kepada konselor lain tanpa persetujuan klien tersebut.
e. Meminta bantuan ahli dalam bidang lain di luar kemapuan atau di luar keahlian stafnya yang diperlukan dalam melaksanakan bimbingan dan konseling.
f. Pembimbing harus selalu menyadari akan tanggung jawabnya yang berat yang memerlukan pengabdian penuh.
DAFTAR PUSTAKA
Anas Salahudin, 2010. Bimbingan Konseling, Bandung. Pustaka Setia
Soetjipto dan Raflis Kosasi, 2011. Profesi Keguruan, Jakarta. Rineka Cipta